Melihat dari sisi lain tentang penerapan masuk sekolah jam 5 atau 5.30 pagi untuk beberapa SMA di Kota Kupang oleh Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur Bapak Viktor Laiskodat menuai sorotan banyak pihak.
Sehari setelah pemberlakuan kebijakan tersebut beberapa lini masa media sosial di NTT ramai diperbincangkan, sehingga saat yang sama Gubernur Viktor memberikan klarifikasi terkait kebijakan yang diambilnya.
“Jika penerapkan sekolah masuk jam 5 tersebut adalah tidak semua sekolah SMA/SMK di Kota Kupang melainkan beberapa sekolah yang ditunjuk dan beberapa sekolah yang lain secara sukarela menerapkannya juga sebagai sekolah pilot project, lalu kemudian secera berkala akan dievaluasi tentang studi kelayakannya” dikutip dari berbagai sumber.
Pro dan kontra di masyarakat hingga saat inipun ramai diperbincangkan dengan argumennya masing-masing. Terlepas dari itu semua saya melihat fenomena ini sebenarnya hal biasa, menjadi luar biasa karena secara umum di NTT baru pertama kalinya ide ini di munculkan secara terbuka di publik.
Akan tetapi jika melihat historisnya penerapan sekolah masuk jam 5 ini bukan baru pertama kali di Indonesia, di luar NTT misalnya hampir semua sekolah berbasis pondok pesantren menerapkan hal yang sama bahkan lebih cepat dari jam 5 mulai proses pemebelajarannya, di NTT sendiri ada sekolah Seminari dan beberapa lembaga pendidikan lain yang menerapkan sistem Boarding School.
Sehingga secara perinsip hemat saya tidak ada persoalan dengan kebijakan tersebut jika kita melihat alasan filosofis mengambil kebijakan ini oleh Gubernur NTT bersama Kepala Dinas Pendidikan yaitu dalam rangka Meningkatkan Mutu dan Kualitas Pendidikan layak di NTT.
Salah satu upaya untuk mendongkrak mutu tersebut yaitu dengan cara membangun ekosistem baru layanan pendidikan yaitu dengan melakukan pembiasaan masuk sekolah lebih pagi (jam 5) dari biasanya yang harapannya dapat melatih karakter, terutama kedisiplinan siswa. Ikhtiar yang lain dalam mendukung program tersebut diantaranya peningkatan kapasitas Guru dan Pegawai serta infrastruktur sarana pendukung lainnya.
Mengutip hasil sebuah penelitian dari Oxford Learning yang berjudul Day Or Night: When Is The Best Time To Study? dalam artikel itu menjelaskan How Time Of Day Affects Students’ Brains? Otak siswa cenderung paling tajam di pagi hari, setelah tidur malam yang menyegarkan. Waktu pagi hari menjadikannya saat yang tepat untuk membuka buku teks untuk mempelajari sesuatu yang baru, atau meninjau catatan dari hari sebelumnya. Waktu pagi hari juga sistem kerja otak manusia lebih siap menerima hal baru ataupun mengingat, sehingga siswa dalam konteks belajar memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mengingat detail seperti nama, tempat, tanggal, dan fakta maupun analisis lainnya.
Kita sadar bahwa setiap gagasan-gagasan baru dalam bentuk apapun tetap ada kekurangan dan kelebihannya, maka pada saat inilah ide gila kadang dibutuhkan apakah kita konsisten dengan gagasannya ataukah kita menyerah hanya karena ada perbedaan pandangan!
Dalam hal kebijakan ini catatan kritisnya adalah sudahkan dilakukan studi analisis kelayakan kebijakan penerapan masuk sekolah jam 5 ini!? ataukah yang penting viral dan jalankan dulu setelahnya baru dilakukan studi kelayakan! Karena mengingat topografi dan infrastruktur sekolah-sekolah SMA/SMK di NTT berbeda-beda dan masih banyak yang belum memadai.
Karena jika merujuk sekolah-sekolah unggulan yang sudah sukses menerapkan masuk sekolah lebih pagi ini adalah rata-rata sekolah menerapkan Boarding School (sekolah berasrama).
Boarding School adalah sebuah sistem sekolah berasrama. Siswa tidak hanya datang ke sekolah untuk belajar namun juga tinggal di asrama yang terletak di lingkungan sekolah termasuk guru dan pengawainya tinggal di asrama/rumah yang sudah disiapkan untuk memudahkan kontrol dan akses layanan pembelajaran serta layanan yang lainnya.
Jika sarana ini sudah dipastikan ada atau minimal sekolah yang menjadi pilot project sudah memenuhi standar diatas saya kira tidak ada alasan membagun ekosistem baru masuk sekolah jam 5 ini dihentikan ata dibatalkan.
Akan tetapi jika belum memenuhi standar seperti yang saya maksudkan diatas maka harus dipertimbangkan lagi penerapannya karena dampak dari kebijakan ini sangat luas baik orang tua, siswa, guru maupun pegawainya terhadap pola pelayanan di sekolah. Atau kajiannya diperdalam lagi tentang indikator-indikator penunjang program tersebut lalu kemudian disisa masa jabatan gubernur saat ini bisa dianggarkan khusus berkaitan sarana pendukung lain dalam menyukseskan kebijakannya.
Akhirnya, kita tahu bahwa membangun mutu dan kualitas pendidikan itu tidak semudah membalik telapak tangan tetapi membutuhkan trobosan-trobosan baru apalagi era disrupsi saat ini.
Cara melihat mutu dan kualitas pendidikan dapat dilihat mulai input, proses dan outputnya. Semakin baik manajemen input, proses dan output suatu lembaga pendidikan maka akan semakin besar pula peluang suatu lembaga pendidikan dalam mencapai tujuannya.
By, Mansur Amriatul, S.Pd (Pegiat Pendidikan di Ruteng, Kab. Manggarai)